Sekolah telah sepi. Masih ada beberapa anak yang bermain basket di lapangan. Mereka bermain dengan semangat. Reza mengoper bola pada sang kapten, tapi bolanya malah lari ke kelas.
“Gimana sih? Capek kan aku ngambilnya,” omel sang kapten.
“Maaf, Tip. Nggak konsen,” Reza Cuma nyengir.
Lantip berlari menyebrangi lapangan menuju kelas. Diffikirnya, kelas itu sudah sepi. Karena hanya akskul basket dan choir saja yang ada jadwal hari itu. Ternyata ada seorang gadis duduk di bangku. Mengayunkan pensilnya sambil menatap lembaran di depannya. Anak itu manis, dan dia terlihat seperti anak alim.
“Maaf, aku mau ambil bola,” kata Lantip. Anak itu menatap Lantip. Lalu kembali pada lembaran di depannya. Lantip mengambil bolanya.
“Maaf, apa yang kau lakukan di sini?” Tanya Lantip. Anak itu menatap Lantip. Tapi lebih dingin. Lalu kembali pada lembarannya.
“Kau mengerjakan soal?” Tanya Lantip lagi. Gadis itu mengangguk. Dia masih berkutat dengan soal-soal yang ada di depannya.
“Soal apa?” Tanya Lantip lagi.
“Soal OSN Fisika,” jawab gadis itu. Lantip mengangguk-angguk.
“Kau yang akan ikut lomba tingkat nasional itu? Semoga berhasil ya,” kata Lantip sambil pergi.
“Kau juga dengan tim basketmu,” kata gadis itu. Lantip mengangguk. Saat lantip kembali, anak-anak duduk di pinggir lapangan. Mengelap keringat.
“Lama amat, Tip. Capek kita nungguin kamu,” kata Reza. Lantip Cuma nyengir, “Maaf.”
“Habis ngapain aja kamu?” Tanya Reza.
“Ketemu sama cewek manis,” jawab Lantip. Anak-anak pada ikut nimbrung.
“Kelas berapa?” Tanya Ren.
“Sebelas IPA satu. Lagian kamu kan dah punya cewek, Ren. Yang ini buat aku aja ya?” kata Lantip.
“Yang mana?” Tanya adik kelasnya
“Yang rambutnya sebahu. Dia ikut OSN Fisika kok,” lajut Lantip.
“Maksudnya Desy? Ogah kak sama dia. Dah diem, cuek. Pinter sih iya. tapi pelit kasih contekan,” kata adik kelasnya.
“Tapi dia kan manis,” bela Lantip.
“Manis sih iya. tapi diemnnya itu lho. Dia kan anak paling cerdas di angkatannya. Tapi dia pendiam. Diaaaaaaaam banget,” kata Ren.
“Buat kamu aja deh,” lanjutnya. Anak-anak yang lain mengangguk setuju.
“Pertandingan OSN-nya kapan ya?” Tanya Lantip.
“Minggu depan. Sehari sebelum kita,” jawab Reza.
Seminggu kemudian………………..
“Lantip, semangat ya atas kemenangannya,” ucap Mafril. Lantip mengangguk. Tim basket menjadi idola sekarang. Mereka maju ke babak semi final di pertandingan basket terbesar di Indonesia.
“Lantip, selamat ya,” kata anak-anak cewek. Lantip hanya tersenyum dan mengangguk. Tak hanya Lantip yang mendapat uicapan semangat. Tapi anggota basket yang lain juga. Walaupun sang kapten lebih banyak mendapatkan ucapan.
Siang itu mereka berlatih lagi. Matahari sedang semangat memancarkan sinarnya. Membuat para pemain lesu. Mereka beristirahat setelah sepuluh menit bermain.
“Panas banget hari ini. Nggak kuat aku, Tip. Pulang ya?” Tanya Reza.
“Latihan dulu lah. Sejam latihan aja deh,” kata Lantip. Anak-anak menyetujui.
Lantip berlari menyebrangi lapangan menjauh dari teman-temannya. Dia mengintip kelas XI IPA 1. Dilihatnya Desy sedang mengerjakan soal lagi. Lantip mengetuk pintu dan masuk.
“Hai, ngerjain soal lagi?” Tanya Lantip. Dia duduk di depan Desy. Desy mengangguk.
“Selamat ya atas kemenanganmu,” ucap Lantip. Desy mengangguk.
“Dapat medali apa kemarin?” Tanya Lantip.
“Emas,” jawab Desy.
“Wah, hebat dong.”
“Sama denganmu. Malah lebih dilihat orang. Sedangkan aku? Mendapat ucapan selamat hanya dari guru-guru saja. Tak ada yang peduli denganku. Lebih baik kau pergi dari pada hanya mengangguku,” kata Desy. Lantip jadi shock.
“Maaf kalau aku menganggumu. Apa aku punya salah denganmu sampai kau tak suka padaku?” Tanya LAntip.
“Semua orang tak menyukaiku. Kenapa aku harus menyukai mereka? Tak ada orang menyukaiku. Mereka hanya memanfaatkan aku,” kata Desy menatap kosong ke kertas di depannya.
“ Aku suka sama kamu. Dan aku nggak pernah memanfaatkan kamu. Semua orang akan menyukaimu kalau kau menyukai mereka,” kata Lantip.
“Itu tadi pernyataan?” Tanya Desy
“Yang mana?” Tanya Lantip.
“Yang kakak menyukaiku.”
“Iya, aku suka sama kamu. Kenapa?” Tanya Lantip. Muka Desy memerah. Dia hanya tersenyum kecil.
“Aku nalik dulu ya. Ntar dimarahi anak-anak kaya kemarin,” kata Lantip sambil berlari. Desy tersenyum dibelakang Lantip.
Lantip menghampiri Desy yang sendirian di kelas. Desy sedang berkutat dengan soal-soal yang baru diberikan oleh tentornya. Lantip duduk di sebelah Desy.
“Hei,” katanya sambil menepuk pundak Desy. Desy tak menoleh. Lantip jadi ngambek.
“Sy, aku kok kamu cuekin se?” Tanya Lantip.
“Iya-iya, mas. Nanguung nih. Kurang satu soal. Bentar ya,” kata Desy sambil menoret-oret kertas di depannya. “Udah,” katanya. Lalu menoleh ke arah Lantip.
“Gimana soalnya? Susah?” Tanya Lantip.
“Lumayan,” jawab Desy. Lantip mengambil lembaran soal milik Desy. Dilihatnya soal itu.
“Wuih! Gini nggak susah? Ini pelajaran kelas tiga kan?” Tanya Lantip. Desy mengangguk.
“Ntar kuantar ya?” Tanya Lantip.
“Nggak usah. Ini dah mau pulang,” kata desy sambil memberaskan barang-barangnya.
“Yaudah deh,” kata Lantip pasrah.
Desy pergi meninggalkan sekolah. Dua minggu lagi dia akan pergi ke Jepang untuk Olimpiade Sains-nya. Dia akan mewakili Indonesia. Sedangkan Lantip akan memasuki final pertandingan basket terbesar di Indonesia. Dia begitu keras berlatih. Sampai Desy nggak kuat sama aroma keringat Lantip. Sekarang mereka menjadi dekat. Semenjak Lantip mengutarakan perasaannya. Sebenarnya mereka nggak pacaran, mereka bersahabat. Tapi ada anak yang salah paham menganggap mereka pacaran. Desy pernah dikerjai sama kakak kelasnya karena nempel sama Lantip. Tapi dia cuek aja. Lantip memang ngebelain, tapi itu malah menguatkan dugaan mereka pacaran.
Hati-hati di jalan….
Sms Desy,
Iya. tumben perhatian?
Balasan,
Kasihan yang bayar rumah sakit. Eman motornya. Hahahahaha…..
Sms Desy,
Huh! Aku bunuh diri aja sekarang…
Balasan,
Iya iya bercanda. Jangan marah tha… ♥♥
Sms Desy,
Iya iya kumaafin. Ngapain ada love nya segala?
Balasan,
G papa kan? Hehehehe…..
Desy tak membalas. Ia hampir dekat dengan rumahnya. Hal yang paling tidak disukainya adalah pulang ke rumahnya. Karena dari tempat itulah masalahnya berasal. Dia lebih suka berada di tempat lain dari pada harus berada di rumah. Tapi di sana dia besar dan di besarkan.
Lantip berlari ke kelas Desy waktuip berlari ke kelas Desy waktu istirahat basket. Tapi kelas itu kosong. Ia mencari ke kelas lain. Tapi nihil. Ia melihat seorang gadis naik di atap seolah. Ia mengamati. Itu Desy, pekiknya dalam hati. Apa yang mau dia lakukan? Apakah dia mau bunuh diri? Lantip bergegas maik kea tap sekolah. Memegang pundak Desy.
“Bukan begitu caranya,” kata Lantip.
“Selesaikan masalahnya dengan baik-baik,”
“Apa maksud kakak?” Desy menoleh dengan bingung.
“Kamu jangan bunuh diri!” kata Lantip. Sambil memegang pundak Desy. Desy hanya tertawa. “Aku nggak lagi bunuh diri kok, Kak,” kata Desy geli.
“Lah kamu ngapain di sini?” tanya Lantip masih shock.
“Cuma pengen ngerasain angin aja,” jawab Desy. Lantip duduk di sebelah Desy.
“Dulu, aku pengen banget bunuh diri,” lanjut Desy sambil memandang langit. Cuacanya memang sedang bagus.
“Dulu, aku sering bertengkar sama ibuku. Sama kakakku. Hampir setiap hari. Aku dulu juga nggak disukai sama anak-anak. Makanya aku bilang semua orang benci aku. Mereka yang berteman sama aku Cuma mau dapat contekan. Aku dah pernah nyoba bunuh diri, tapi kalau ingat kejadian itu aku jadi nggak bisa ngapa-ngapain,” cerita Desy. Lantip mendengarkan dengan seksama.
“Kejadian apa?” tanya Lantip.
“Penjambretan. Waktu kecil. Dulu banget, waktu umurku enam tahun kalau nggak salah, saat pulang dari sebuah acara, sepeda motor ayahku dihadang sama sekolompok orang. Mereka mengambil barang beharga milik ibuku, ibuku pulang dengan keadaan menangis. Kejadian itu nggak bisa hilang dari ingatanku. Semenjak itu, keluargaku nggak sekaya dulu lagi. Kalau ingat kejadian itu, aku ingat kerja keras ibuku dan ayahku dalam menghidupi keluargaku. Mereka selalu sayang sama aku. Makanya, aku nggak pernah nyoba bunuh diri lagi,” kata Desy. Air mata metes dari matanya. Walau sedikit, tapi terlihat. Lantip menyeka air mata Desy.
“Nggak usah nangis lagi, aku akan ada di sampingmu kok. Selalu bantu Desy. Kapan pun Desy butuh,” kata Lantip. Desy tersenyum. “Makasih ya, mas,” ucapnya lirih. Lantip merangkul pundak Desy. Lalu melepasnya. Dari bawah, anak-anak basket bersuit-suit ria.
“Ihiiiii………. Lantip. Ngapain aja di atas? Pacaran aja. Ayo turun!” kata Reza dari bawah. Lantip dan Desy hanya tersenyum.
“Turun yuk! Ngeri di sini,” ajak Lantip. Lantip turun diikuti desy. Anak-anak di bawah menyambut mereka.
“Selamat ya,” kata teman sekelas Desy.
“Buat?” Desy balik tanya.
“Jadian. Kamu kan punya pacar sekarang,” jawabnya.
“Emang siapa pacarku?” tanya Desy.
“Kak Lantip kan?” tanya temannya lagi.
“Kapan nembaknya?” tanya Desy.
“Itu tadi pernyataan tau!” jawab Lantip agak emosi.
“Yang mana?” tanya Desy lagi. Beberapa teman Lantip sudah mulai mangkel. Tapi Lantip tetap sabar.
“Yang di atas tadi. Udahlah. Pokoknya kita pacaran mulai sekarang,” kata Lantip.
“Maksa,” balas Desy.
“Biarin,” kata Lantip sambil menjulurkan lidahnya. Lalu memegang tangan Desy. Desy agak canggung. Mereka kejar-kejaran di lapangan basket.
“Pasangan aneh,” kata Reza. Semua anak yang ada di sana mengangguk setuju.
“Gimana sih? Capek kan aku ngambilnya,” omel sang kapten.
“Maaf, Tip. Nggak konsen,” Reza Cuma nyengir.
Lantip berlari menyebrangi lapangan menuju kelas. Diffikirnya, kelas itu sudah sepi. Karena hanya akskul basket dan choir saja yang ada jadwal hari itu. Ternyata ada seorang gadis duduk di bangku. Mengayunkan pensilnya sambil menatap lembaran di depannya. Anak itu manis, dan dia terlihat seperti anak alim.
“Maaf, aku mau ambil bola,” kata Lantip. Anak itu menatap Lantip. Lalu kembali pada lembaran di depannya. Lantip mengambil bolanya.
“Maaf, apa yang kau lakukan di sini?” Tanya Lantip. Anak itu menatap Lantip. Tapi lebih dingin. Lalu kembali pada lembarannya.
“Kau mengerjakan soal?” Tanya Lantip lagi. Gadis itu mengangguk. Dia masih berkutat dengan soal-soal yang ada di depannya.
“Soal apa?” Tanya Lantip lagi.
“Soal OSN Fisika,” jawab gadis itu. Lantip mengangguk-angguk.
“Kau yang akan ikut lomba tingkat nasional itu? Semoga berhasil ya,” kata Lantip sambil pergi.
“Kau juga dengan tim basketmu,” kata gadis itu. Lantip mengangguk. Saat lantip kembali, anak-anak duduk di pinggir lapangan. Mengelap keringat.
“Lama amat, Tip. Capek kita nungguin kamu,” kata Reza. Lantip Cuma nyengir, “Maaf.”
“Habis ngapain aja kamu?” Tanya Reza.
“Ketemu sama cewek manis,” jawab Lantip. Anak-anak pada ikut nimbrung.
“Kelas berapa?” Tanya Ren.
“Sebelas IPA satu. Lagian kamu kan dah punya cewek, Ren. Yang ini buat aku aja ya?” kata Lantip.
“Yang mana?” Tanya adik kelasnya
“Yang rambutnya sebahu. Dia ikut OSN Fisika kok,” lajut Lantip.
“Maksudnya Desy? Ogah kak sama dia. Dah diem, cuek. Pinter sih iya. tapi pelit kasih contekan,” kata adik kelasnya.
“Tapi dia kan manis,” bela Lantip.
“Manis sih iya. tapi diemnnya itu lho. Dia kan anak paling cerdas di angkatannya. Tapi dia pendiam. Diaaaaaaaam banget,” kata Ren.
“Buat kamu aja deh,” lanjutnya. Anak-anak yang lain mengangguk setuju.
“Pertandingan OSN-nya kapan ya?” Tanya Lantip.
“Minggu depan. Sehari sebelum kita,” jawab Reza.
Seminggu kemudian………………..
“Lantip, semangat ya atas kemenangannya,” ucap Mafril. Lantip mengangguk. Tim basket menjadi idola sekarang. Mereka maju ke babak semi final di pertandingan basket terbesar di Indonesia.
“Lantip, selamat ya,” kata anak-anak cewek. Lantip hanya tersenyum dan mengangguk. Tak hanya Lantip yang mendapat uicapan semangat. Tapi anggota basket yang lain juga. Walaupun sang kapten lebih banyak mendapatkan ucapan.
Siang itu mereka berlatih lagi. Matahari sedang semangat memancarkan sinarnya. Membuat para pemain lesu. Mereka beristirahat setelah sepuluh menit bermain.
“Panas banget hari ini. Nggak kuat aku, Tip. Pulang ya?” Tanya Reza.
“Latihan dulu lah. Sejam latihan aja deh,” kata Lantip. Anak-anak menyetujui.
Lantip berlari menyebrangi lapangan menjauh dari teman-temannya. Dia mengintip kelas XI IPA 1. Dilihatnya Desy sedang mengerjakan soal lagi. Lantip mengetuk pintu dan masuk.
“Hai, ngerjain soal lagi?” Tanya Lantip. Dia duduk di depan Desy. Desy mengangguk.
“Selamat ya atas kemenanganmu,” ucap Lantip. Desy mengangguk.
“Dapat medali apa kemarin?” Tanya Lantip.
“Emas,” jawab Desy.
“Wah, hebat dong.”
“Sama denganmu. Malah lebih dilihat orang. Sedangkan aku? Mendapat ucapan selamat hanya dari guru-guru saja. Tak ada yang peduli denganku. Lebih baik kau pergi dari pada hanya mengangguku,” kata Desy. Lantip jadi shock.
“Maaf kalau aku menganggumu. Apa aku punya salah denganmu sampai kau tak suka padaku?” Tanya LAntip.
“Semua orang tak menyukaiku. Kenapa aku harus menyukai mereka? Tak ada orang menyukaiku. Mereka hanya memanfaatkan aku,” kata Desy menatap kosong ke kertas di depannya.
“ Aku suka sama kamu. Dan aku nggak pernah memanfaatkan kamu. Semua orang akan menyukaimu kalau kau menyukai mereka,” kata Lantip.
“Itu tadi pernyataan?” Tanya Desy
“Yang mana?” Tanya Lantip.
“Yang kakak menyukaiku.”
“Iya, aku suka sama kamu. Kenapa?” Tanya Lantip. Muka Desy memerah. Dia hanya tersenyum kecil.
“Aku nalik dulu ya. Ntar dimarahi anak-anak kaya kemarin,” kata Lantip sambil berlari. Desy tersenyum dibelakang Lantip.
Lantip menghampiri Desy yang sendirian di kelas. Desy sedang berkutat dengan soal-soal yang baru diberikan oleh tentornya. Lantip duduk di sebelah Desy.
“Hei,” katanya sambil menepuk pundak Desy. Desy tak menoleh. Lantip jadi ngambek.
“Sy, aku kok kamu cuekin se?” Tanya Lantip.
“Iya-iya, mas. Nanguung nih. Kurang satu soal. Bentar ya,” kata Desy sambil menoret-oret kertas di depannya. “Udah,” katanya. Lalu menoleh ke arah Lantip.
“Gimana soalnya? Susah?” Tanya Lantip.
“Lumayan,” jawab Desy. Lantip mengambil lembaran soal milik Desy. Dilihatnya soal itu.
“Wuih! Gini nggak susah? Ini pelajaran kelas tiga kan?” Tanya Lantip. Desy mengangguk.
“Ntar kuantar ya?” Tanya Lantip.
“Nggak usah. Ini dah mau pulang,” kata desy sambil memberaskan barang-barangnya.
“Yaudah deh,” kata Lantip pasrah.
Desy pergi meninggalkan sekolah. Dua minggu lagi dia akan pergi ke Jepang untuk Olimpiade Sains-nya. Dia akan mewakili Indonesia. Sedangkan Lantip akan memasuki final pertandingan basket terbesar di Indonesia. Dia begitu keras berlatih. Sampai Desy nggak kuat sama aroma keringat Lantip. Sekarang mereka menjadi dekat. Semenjak Lantip mengutarakan perasaannya. Sebenarnya mereka nggak pacaran, mereka bersahabat. Tapi ada anak yang salah paham menganggap mereka pacaran. Desy pernah dikerjai sama kakak kelasnya karena nempel sama Lantip. Tapi dia cuek aja. Lantip memang ngebelain, tapi itu malah menguatkan dugaan mereka pacaran.
Hati-hati di jalan….
Sms Desy,
Iya. tumben perhatian?
Balasan,
Kasihan yang bayar rumah sakit. Eman motornya. Hahahahaha…..
Sms Desy,
Huh! Aku bunuh diri aja sekarang…
Balasan,
Iya iya bercanda. Jangan marah tha… ♥♥
Sms Desy,
Iya iya kumaafin. Ngapain ada love nya segala?
Balasan,
G papa kan? Hehehehe…..
Desy tak membalas. Ia hampir dekat dengan rumahnya. Hal yang paling tidak disukainya adalah pulang ke rumahnya. Karena dari tempat itulah masalahnya berasal. Dia lebih suka berada di tempat lain dari pada harus berada di rumah. Tapi di sana dia besar dan di besarkan.
Lantip berlari ke kelas Desy waktuip berlari ke kelas Desy waktu istirahat basket. Tapi kelas itu kosong. Ia mencari ke kelas lain. Tapi nihil. Ia melihat seorang gadis naik di atap seolah. Ia mengamati. Itu Desy, pekiknya dalam hati. Apa yang mau dia lakukan? Apakah dia mau bunuh diri? Lantip bergegas maik kea tap sekolah. Memegang pundak Desy.
“Bukan begitu caranya,” kata Lantip.
“Selesaikan masalahnya dengan baik-baik,”
“Apa maksud kakak?” Desy menoleh dengan bingung.
“Kamu jangan bunuh diri!” kata Lantip. Sambil memegang pundak Desy. Desy hanya tertawa. “Aku nggak lagi bunuh diri kok, Kak,” kata Desy geli.
“Lah kamu ngapain di sini?” tanya Lantip masih shock.
“Cuma pengen ngerasain angin aja,” jawab Desy. Lantip duduk di sebelah Desy.
“Dulu, aku pengen banget bunuh diri,” lanjut Desy sambil memandang langit. Cuacanya memang sedang bagus.
“Dulu, aku sering bertengkar sama ibuku. Sama kakakku. Hampir setiap hari. Aku dulu juga nggak disukai sama anak-anak. Makanya aku bilang semua orang benci aku. Mereka yang berteman sama aku Cuma mau dapat contekan. Aku dah pernah nyoba bunuh diri, tapi kalau ingat kejadian itu aku jadi nggak bisa ngapa-ngapain,” cerita Desy. Lantip mendengarkan dengan seksama.
“Kejadian apa?” tanya Lantip.
“Penjambretan. Waktu kecil. Dulu banget, waktu umurku enam tahun kalau nggak salah, saat pulang dari sebuah acara, sepeda motor ayahku dihadang sama sekolompok orang. Mereka mengambil barang beharga milik ibuku, ibuku pulang dengan keadaan menangis. Kejadian itu nggak bisa hilang dari ingatanku. Semenjak itu, keluargaku nggak sekaya dulu lagi. Kalau ingat kejadian itu, aku ingat kerja keras ibuku dan ayahku dalam menghidupi keluargaku. Mereka selalu sayang sama aku. Makanya, aku nggak pernah nyoba bunuh diri lagi,” kata Desy. Air mata metes dari matanya. Walau sedikit, tapi terlihat. Lantip menyeka air mata Desy.
“Nggak usah nangis lagi, aku akan ada di sampingmu kok. Selalu bantu Desy. Kapan pun Desy butuh,” kata Lantip. Desy tersenyum. “Makasih ya, mas,” ucapnya lirih. Lantip merangkul pundak Desy. Lalu melepasnya. Dari bawah, anak-anak basket bersuit-suit ria.
“Ihiiiii………. Lantip. Ngapain aja di atas? Pacaran aja. Ayo turun!” kata Reza dari bawah. Lantip dan Desy hanya tersenyum.
“Turun yuk! Ngeri di sini,” ajak Lantip. Lantip turun diikuti desy. Anak-anak di bawah menyambut mereka.
“Selamat ya,” kata teman sekelas Desy.
“Buat?” Desy balik tanya.
“Jadian. Kamu kan punya pacar sekarang,” jawabnya.
“Emang siapa pacarku?” tanya Desy.
“Kak Lantip kan?” tanya temannya lagi.
“Kapan nembaknya?” tanya Desy.
“Itu tadi pernyataan tau!” jawab Lantip agak emosi.
“Yang mana?” tanya Desy lagi. Beberapa teman Lantip sudah mulai mangkel. Tapi Lantip tetap sabar.
“Yang di atas tadi. Udahlah. Pokoknya kita pacaran mulai sekarang,” kata Lantip.
“Maksa,” balas Desy.
“Biarin,” kata Lantip sambil menjulurkan lidahnya. Lalu memegang tangan Desy. Desy agak canggung. Mereka kejar-kejaran di lapangan basket.
“Pasangan aneh,” kata Reza. Semua anak yang ada di sana mengangguk setuju.